يَا زَكَرِيَّا إِنَّا نُبَشِّرُكَ بِغُلَامٍ اسْمُهُ يَحْيَى لَمْ نَجْعَل لَّهُ مِن قَبْلُ سَمِيًّا (7) سورة مريم
“Hai Zakaria, sesungguhnya Kami memberi kabar gembira kepadamu akan (beroleh) seorang anak yang namanya Yahya, yang sebelumnya Kami belum pernah menciptakan orang yang serupa dengan dia” (QS. Maryam: 7).
Dan hakikat pemberian nama kepada anak adalah agar ia
dikenal serta memuliakannya. Oleh sebab itu para ulama bersepakat akan
wajibnya memberi nama kapada anak laki-laki dan perempuan 1). Oleh sebab
itu apabila seseorang tidak diberi nama, maka ia akan menjadi seorang
yang majhul (=tidak dikenal) oleh masyarakat.
Telah datang sunnah dari Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam tentang waktu pemberian nama, yaitu:
a) Memberikan nama kepada anak pada saat ia lahir.
b) Memberikan nama kepada anak pada hari ketiga setelah ia lahir.
c) Memberikan nama kepada anak pada hari ketujuh setelah ia lahir.
Tidak ada perbedaan pendapat bahwasannya seorang
bapak lebih berhak dalam memberikan nama kepada anaknya dan bukan kepada
ibunya.
Hal ini sebagaimana telah tsabit (=tetap) dari para
sahabat radhiallahu ‘anhum bahwa apabila mereka mendapatkan anak maka
mereka pergi kepada Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam agar
Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam memberikan nama kepada anak-anak
mereka. Hal ini menunjukkan bahwa kedudukan bapak lebih tinggi daripada
ibu.
Sebagaimana hak memberikan nama kepada anak, maka
seorang anakpun bernasab kepada bapaknya bukan kepada ibunya, oleh sebab
itu seorang anak akan dipanggil: Fulan bin Fulan, bukan Fulan bin
Fulanah.
Allah Ta’ala berfirman:
ادْعُوهُمْ لِآبَائِهِمْ (5) سورة الأحزاب
Panggilah mereka (anak-anak angkat itu) dengan (memakai) nama bapak-bapak mereka…” (QS. Al-Ahzab: 5)
Oleh karena itu manusia pada hari kiamat akan
dipanggil dengan nama bapak-bapak mereka: Fulan bin fulan. Hal ini
sebagaimana diterangkan dalam hadits dari Ibnu ‘Umar radhiallahu ‘anhuma
dari Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam 2).
Kewajiban bagi seorang bapak adalah memilih nama
terbaik bagi anaknya, baik dari sisi lafadz dan maknanya, sesuai dengan
syar’iy dan lisan arab. Kadangkala pemberian nama kepada seorang anak
baik adab dan diterima oleh telinga/pendangaran akan tetapi nama
tersebut tidak sesuai dengan syari’at.
Tata Tertib Pemberian Nama Seorang Anak
1. Disukai Memberikan Nama Kepada Seorang Anak Dengan
Dua Suku Kata, misal Abdullah, Abdurrahman. Kedua nama ini sangat
disukai oleh Allah Subhanahu Wa Ta’ala sebagaimana diterangkan oleh Nabi
Shalallahu ‘alaihi wa sallam yang diriwayatkan oleh Imam Muslim, Abu
Dawud dll. Kedua nama ini menunjukkan penghambaan kepada Allah Azza wa
Jalla.
Dan sungguh Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam
telah memberikan nama kepada anak pamannya (Abbas radhiallahu ‘anhu),
Abdullah radhiallahu ‘anhuma. Kemudian para sahabat radhiallahu ‘anhum
terdapat 300 orang yang kesemuanya memiliki nama Abdullah.
Dan nama anak dari kalangan Anshor yang pertama kali
setelah hijrah ke Madinah Nabawiyah adalah Abdullah bin Zubair
radhiallahu ‘anhuma.
2. Disukai Memberikan Nama Seorang Anak Dengan
Nama-nama Penghambaan Kepada Allah Dengan Nama-nama-Nya Yang Indah
(Asma’ul Husna), misal: Abdul Aziz, Abdul Ghoniy dll. Dan orang yang
pertama yang menamai anaknya dengan nama yang demikian adalah sahabat
Ibn Marwan bin Al-Hakim.
Sesungguhnya orang-orang Syi’ah tidak memberikan nama
kepada anak-anak mereka seperti hal ini, mereka mengharamkan diri
mereka sendiri memberikan nama anak mereka dengan Abdurrahman sebab
orang yang telah membunuh ‘Ali bin Abi Tholib adalah Abdurrahman bin
Muljam.
3. Disukai Memberikan Nama Kepada Seorang Anak Dengan Nama-nama Para Nabi.
Para ulama sepakat akan diperbolehkannya memberikan nama dengan nama para nabi3).
Diriwayatkan dari Yusuf bin Abdis Salam, ia
berkata:”Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam memberikan nama
kepadaku Yusuf” (HR. Bukhori –dalam Adabul Mufrod-; At-Tirmidzi –dalam
Asy-Syama’il-). Berkata Ibnu Hajjar Al-Asqolaniy: Sanadnya Shohih.
Dan seutama-utamanya nama para nabi adalah nama nabi dan rasul kita Muhammad bin Abdillah shalallahu ‘alaihi wa sallam.
Para ulama berbeda pendapat tentang boleh atau
tidaknya penggabungan dua nama Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam
dengan nama kunyahnya, Muhammad Abul Qasim.
Berkata Ibnul Qoyyim Al-Jauziyyah rahimahullah:”Dan
yang benar adalah pemberian nama dengan namanya (yakni Muhammad, pent)
adalah boleh. Sedangkan berkunyah dengan kunyahnya adalah dilarang dan
pelarangan menggunakan kunyahnya pada saat beliau shalallahu ‘alaihi wa
sallam masih hidup lebih keras dan penggabungan antara nama dan kunyah
beliau shalallahu ‘alaihi wa sallam juga terlarang”4).
4. Memberikan Nama Kepada Seorang Anak Dengan Nama-nama Orang Sholih Dari Kalangan Kaum Muslimin.
Telah tsabit dari hadits Mughiroh bin Syu’bah radhiallahu ‘anhu dari Nabi Shalallahu ‘alaihi wa sallam, ia bersabda:
أنهم كانوا يسمون بأسماء أنبيائهم والصالحين (رواه مسلم).
“Sesungguhnya mereka memberikan nama (pada anak-anak mereka) dengan nama-nama para nabi dan orang-orang sholih” (HR. Muslim).
Kemudian para sahabat Rasulullah shalallahu ‘alaihi
wa sallam adalah penghulunya orang-orang sholih bagi umat ini dan
demikian juga orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik hingga hari
akhir.
Para sahabat Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam
memandang bahwa hal ini adalah baik, oleh karena itu sahabat Zubair bin
‘Awan radhiallahu ‘anhu memberikan nama kepada anak-anaknya –jumlah
anaknya 9 orang- dengan nama-nama sahabat yang syahid pada waktu perang
Badr, missal: Abdullah,’Urwah, Hamzah, Ja’far, Mush’ab, ‘Ubaidah,
Kholid, ‘Umar, dan Mundzir.
Nama-nama yang Diharamkan
- Para ulama sepakat mengenai haramnya memakai nama yang mengandung makna penghambaan diri kepada selain Allah, seperti Abdul ‘Uzza, Abdusy Syams (hamba matahari), Abdud Daar, Abdur Rasuul, Abdun Nabi dan lain-lainDiriwayatkan dari Hani bin Zaid bahwa ketika ia datang menghadap Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai utusan beserta kaumnya, beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam mendengar mereka memanggil salah seorang di antara mereka dengan nama Abdul Hajar (hamba batu). Lantas Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya kepadanya, “Siapa namamu?” Ia menjawab, “Abdu hajar.” Beliau bersabda, “Tidak, kamu adalah Abdullah (hamba Allah) bukan Abdu Hajar (hamba batu)!” (lihat kitab Shahihul Adabil Mufraad, halaman 623)Termasuk pula dalam hal ini adalah pemberian nama Abdul Haarits, karena al-Hariits adalah manusia. Adapun “Haarits” itu sendiri bukanlah nama Allah. Yang ada adalah Allah disifati dengan adz-Dzaari’ (menanam, menumbuhkan) dann itu bukan termasuk nama Allah.
أَفَرَأَيْتُم مَّا تَحْرُثُون أَأَنتُمْ تَزْرَعُونَهُ أَمْ نَحْنُ الزَّارِعُونَ
“Maka terangkanlah kepadaku tentang yang kamu tanam. Kamukah yang menumbuhkan atau Kami-kah yang menumbuhkan.” (QS. Al-Waaqi’ah: 63-64)
- Memberi nama dengan nama-nama Allah, seperti ar-Rahman, ar-Rahiim, al-Khaliq dan al-Bari.Syaikh Utsaimin memiliki penjelasan yang bagus berkenaan memberi nama dengan nama Allah Ta’ala.
http://qurandansunnah.wordpress.com/2009/07/31/etika-memberi-nama-anak-dalam-islam/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar